I Sekar Sandat : Potret Wanita Bali dalam Hegemoni Patriarki

 


 

Beberapa bulan setelah pernikahan Luh Sekar dengan lelaki bangsawan, adik kandungnya, Sandat menikah juga dengan seorang lelaki kaya raya.  Luh Sekar hidup dengan menyandang status baru sebagai seorang “jro”  di puri yang bertuah itu . Sedangkan Sandat hidup bergelimang harta di rumah Bali “ meprada” yang megah .

Kehidupan masa bajang” Luh Sekar dan Sandat diwarnai dengan jejalan aktivitas penanaman nilai adat dan “adab” sebagai kodrat kedua manusia itu lahir menjadi perempuan. Ibu mereka , Ketut Wangi begitu ketat dalam menanamkan doktrin-doktrin sesuluh menjadi seorang wanita yang tau adab dan adat . Ketut Wangi tak ingin membuat kecewa lagi seluruh dunia dengan tidak melahirkan anak lelaki , setidaknya kedua anak gadisnya berhasil menjadi wanita Bali yang sesungguhnya dan kelak bisa menikah dengan keluarga yang terhormat .

“Lihatlah kedua putri kita Bli , mereka cantik , cekatan . Tidak ada kekurangan dalam diri mereka. Kelak mereka akan membanggakan kita di rumah mertuanya. Bukankah harusnya kita bersyukur? Kalau anak lelaki yang lahir bukannya dia hanya akan mewarisi kemelaratan kita saja?” kata Ketut Wangi pada Made Yasa, suaminya, yang berulang kali mengeluhkan keturunannya yang putung, tidak memiliki anak laki-laki. 

Sepanjang waktu Luh Sekar dan Sandat dididik untuk cekatan dalam mengambil pekerjaan rumah, memasak, mencuci , membersihkan rumah , mempersiapkan sesajen untuk hari-hari suci , terjun di masyarakat. Ketut Wangi seolah-olah telah mempersiapkan kehidupan kedua putrinya dengan begitu matang. Namun sayang, ada yang cacat dalam dididikannya itu , dia selalu menjelaskan kepada kedua putrinya apa yang dia ajarkan pada mereka adalah untuk menyadarkan mereka bahwa kodrat perempuan memang mengurusi urusan dosmetik di rumah tangga saja , tidak untuk yang lainnya .

 “Untuk apa belajar tinggi-tinggi? Tau kalian Dayu Galuh? Menantunya Jro Melati itu , dia selalu jadi bahan cemoohan mertuanya di banjar setiap ngayah. Pendidikannya saja tinggi tapi tidak becus urusan rumah tangga , tiap hari kerjanya  bersolek lalu ke kantor dan pulang malam , mengurusi anak saja pakai “ pengempu “ apalagi disuruh mebraya , mana sempat ! “  cerita Ketut Wangi dengan nada yang juga tak kalah nyinyir pada kedua putrinya. “ Pokoknya asal berhitung dan membaca saja sudah cukup. Kalian cuma perlu cekatan dalam urus pekerjaan rumah , supaya tidak jadi bahan umpatan mertua kalian nanti . Malu meme mu ini “

Syahdan, di umur 23 tahun Luh Sekar dipinang seorang laki-laki keturunan Raja , berdarah bangsawan . Kini ia menyandang status sebagai seorang “jro “ di puri suaminya .  Ketut Wangi begitu bangga , ia merasa dididikannya berhasil mengantarkan putrinya dipinang oleh keluarga terhormat , seorang bangsawan! Dalam dadanya begitu bergemuruh memiliki besan dari keluarga keturunan raja . Begitu yakin dan bangganya dia bahwa kehidupan putrinya di sana akan “ dihormati” seperti suaminya yang berkasta itu .  Kehidupan terhormat keluarga puri ini ternyata hanya simbolis semata terhadap budaya "lama" yang kian tak relevan , nyatanya di balik bangunan yang besar nan bertuah itu seluruh asetnya telah rapuh dan hangus , dijual untuk dijadikan modal berjudi dan sabung ayam “ metajen “ . Tak ada yang tersisa dari puri itu kecuali nama dan juga bangunan puri yang tak bisa dijual . Luh Sekar mengalami keterkejutan, tatkala tau lelaki yang dinikahinya tak lebih dari seorang bedebah yang kerjanya hanya “metajen” lalu pulang dengan mulut bau alkohol! Setiap hari dia harus meratapi nasibnya untuk membersihkan muntahan lelaki tidak berguna itu , belum lagi tuntutan macam-macam bentuknya dari mertuanya yang kian tua dan cerewet .  Hidupnya tak lagi untuk dirinya sendiri , tapi benar-benar untuk “ ngayah” di puri dan terjun mebraya di masyarakat.. Tak ada waktu untuk mengeluh , apalagi menuntut lebih kepada suaminya .  Ia hanya berhak menerima dan mengabdi.

“Mau bagaimana lagi Luh ? sekarang Luh sudah besar dan menikah , masalah itu pasti akan selalu ada , semua lelaki memang begitu , Luh hanya perlu bersabar dan menunggu. Suami Luh pasti akan sadar nantinya. Pokoknya Luh sudah ada di posisi keluarga terhormat, semua orang menginginkannya . Kita ini hanya wanita , apalagi Luh cuma wong “jaba” , rendahkanlah ego Luh sendiri!"  begitu petuah bijaksana yang keluar dari mulut Ketut Wangi ketika Luh Sekar menyempatkan diri pulang ke rumah bajangnya untuk menceritakan nasib rumah tangganya . Lagi-lagi perempuan itu hanya dituntut menerima nasibnya dan menjalani kodratnya dengan sebaik-baiknya, tidak ada kesempatan untuk memilih . Maka , Luh Sekar kembali dengan hati kecewa namun harus tetap menerima suami dan keluarga puri itu karena ia yakin memang kodratnya untuk mengabdi sepanjang umurnya di sana .

Mendengar cerita kakaknya yang tak bahagia dengan hidupnya , Sandat merasa tak mau bernasib sama seperti itu “ Dasar keluarga itu , payah! Nama saja besar , tapi ternyata rapuh finansial ! “ .  Akhirnya , gadis itu menikah dengan seorang lelaki yang sederajat dengannya , lelaki pekerja keras yang bekerja di kapal pesiar dengan rumah Balinya yang meprada, begitu megah .  “ Walaupun bukan keluarga puri, tapi emas yang ku pakai lebih banyak daripada mbok Sekar" Sandat begitu bangga dengan kehidupannya yang bergelimang harta , mertuanya sangat menyayanginya karena Sandat cekatan dalam mengambil pekerjaan rumah dan adat .  Sayang , ternyata suaminya yang pekerja keras dalam mencari uang itu juga suka membelok di belakang , berulang kali Sandat sadar telah dikhianati suaminya. Namun lagi-lagi dia tak bisa mengambil sikap. Malahan suaminya yang berulang kali memukulinya untuk membungkam mulut wanita itu yang penuh  makian karena diselingkuhi .

“Untuk apa kamu mau tinggal di rumah meme? Apa gubuk reyot ini lebih nyaman dari rumah besar itu ? Apa kamu tidak malu sudah menikah dan tinggal di rumah  bajangmu ? Hidupmu sudah enak Sandat , meme sudah bangga kamu berhasil menikah dengan orang kaya berkat didikan meme . Apa susahnya untuk menerima ? Yang penting kamu masih terus difasilitasi segalanya . Kita wanita , tidak bisa apa-apa , kalau bercerai cuma kita yang rugi!”

Begitulah , Sandat juga kembali ke rumah suaminya yang megah itu , tapi hatinya ganjil tidak lega juga tidak bisa kecewa , karena ia dituntut hanya menerima ,tidak ada pilihan. Maka hal itu harus diterima dengan rasa yang tak bisa dia utarakan.  Kedua kakak beradik itu kembali ke rumah suami mereka, melanjutkan hidup mereka yang kian nelangsa, mungkin sebentar lagi juga akan merasa terasing dengan esensi hidup itu sendiri .

  Tidak ada kebahagiaan dalam diri kedua perempuan itu. Hanya rasa takut dan bayangan ketidakberdayaan. Doktrin yang telah Ketut Wangi berikan sukses membuat kedua putrinya menjadi perempuan yang tau adat , tapi tidak ukuran adab .  Luh Sandat  dan Sekar harus hidup dibawah bayang-bayang lelaki sebagai seorang istri yang tunduk dan patuh . 

Lahir sebagai perempuan Bali artinya sanggup untuk menerima, tidak meminta apalagi menuntut.  Acapkali yang terjadi bukan proses pengabdian tapi sebuah proses perbudakan.  Kehidupan perempuan yang bahagia bukan terletak pada  laki-laki  bangsawan atau kaya raya, pun sebaliknya. Kehidupan perempuan adalah milik perempuan itu sendiri , kebahagiaan ada pada diri sendiri , bentuk pelayanan tertinggi ada pada diri manusia itu sendiri. Bagaimana dia membangun harmoni dengan Tuhan , manusia dan lingkungannya . Tapi yang acapkali terjadi ,hanya penghayatan terhadap harmoni perempuan Bali dengan Tuhannya , perempuan Bali dengan lingkungannya, tapi tidak ada proses harmoni terhadap diri sendiri , padahal diri kita sendiri adalah manusia yang paling dekat sebagai proses paling sederhana untuk memanusiakan manusia , bukankah begitu ?  

Komentar

  1. Kerenn banget, ga sabar nunggu karya karya berikutnya🥰🥰🥰

    BalasHapus
  2. wuih...patriarki dan feminisme, salah didik atau salah "duduk"?

    BalasHapus
  3. wuih...patriarki dan feminisme, salah didik atau salah "duduk"?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANDIKALA

Membeli Nama Sebagai Seorang Mahasiswa