SANDIKALA

 

Jangan bermain di waktu Sandikala, nanti disembunyikan “memedi”,  begitu kata orang tua dulu ketika menasehati anaknya agar tidak bermain sampai larut. Ya, betul. Dayu Tantri, gadis itu juga hilang ketika sandikala.

Kehidupan gria memang penuh dengan aturan dan tata krama. Bagaimana tata kata, berperilaku, bersikap, berpakaian telah diatur sedemikian rupa, apik dan terlihat bertuah di mata masyarakat. Tantri, lahir sebagai perempuan keturunan brahmana yang begitu keras dalam menjaga pakem gria, membuat sosoknya sebagai perempuan remaja yang terlihat lebih matang dari teman-teman seusianya.

Ayahnya, Ida Bagus Dwija merupakan tokoh yang begitu dihormati masyarakat. Ibunya, Dayu Praba adalah seorang pembuat banten yang keanggunannya begitu dipuja masyarakat. Bisa dibayangkan, paras nan kecerdasan Tantri tidak diragukan lagi.  Sebagai putri tunggal, Ida Bagus Dwija menaruh harapan besar pada Tantri. Harapan besar itu pula yang akhirnya menyulut amarah dan luka ketika peristiwa kecelakaan itu terjadi.

“ Tugek Tantri, mengandung”

“ Bicara apa kau Tut? Sadarkah kau yang diucapkan dari mulutmu itu?”

“ Nggih, tiang sadar sekali Ratu. Tugek Tantri memang sedang mengandung”

Mendengar hal tersebut, Dayu Praba langsung lunglai. Dwija tak sanggup lagi menahan sabar. Lekas dia berlari menuju kamar Tantri

“ Tantri!” teriak Dwija dengan lantang.

Tantri gemetar ketakutan. Pertama kali dia melihat dan mendengar ayahnya berteriak marah seperti itu kepadanya. “Aji…” jawab Tantri lirih dengan suara gemetar bersimpuh di kaki Dwija

“ Siapa laki-laki lancang itu?!”

“ Aji….” ucap Tantri lagi dengan tangisan yang gemetar

“ Jawab aku”

“ Wiguna” jawab Tantri tergagap sambil menangis

“ Maafkan tiang aji” kata Tantri lagi sambil terus memeluk kaki Dwija

Dwija gemetar. Perasaanya tak karuan, marah, sedih, kecewa semua meluap menjadi satu. Tantri, putri yang amat sangat dicintainya, dibentuk dan dibesarkan lewat ajaran tata krama. Hari ini, telah melewati batasan itu. “ Katakan lagi dengan jelas, siapa lelaki itu?”

“ Wiguna , Aji” jawab Tantri lalu menangis dengan kencang

    Gemuruh dada Dwija tak terhankan lagi. Ketika sadar, Wiguna adalah anak dari parekannya, Lesig, yang dia beri kepercayaan untuk mengurus ladang. Tangan Dwija gemetar, ingin sekali dia memukul Tantri hari itu lalu melupakan semua yang terjadi hari ini. Tapi tidak, Tantri anak yang dibesarkannya dengan kasih, yang dirawatnya 17 tahun lamanya, Dwija tak mungkin bisa memukulnya, apalagi melupakan masalah ini.

    Lelaki yang dikenal dengan wibawa dan bijaksananya itu, hari ini merasa telah kehilangan kehormatan, wibawa, kebijaksanannya. Ia pergi meninggalkan Tantri di kamar. Dwija berjalan begitu lunglai, jika hari itu ia bisa menemui kematian maka sudah akan dilakukan. Sementara Dayu Praba masih lemas dan menangis terus di dalam kamar.  Tiang tidak sanggup melihat Tantri” katanya lirih dengan diiringi tangis kepada Dwija

Dwija membisu.

    Keesokan harinya Dwija memanggil Lesig, istrinya dan juga Wiguna untuk datang ke gria

“ Ada apa Ratu? Adakah tiang telah berbuat keliru? Wajah Ratu nampak tidak baik-baik saja”

“ Tanyakan pada anakmu” Jawab Dwija ketus

    Lesig dan istrinya nampak bingung. Dua orang lugu itu tak paham apa yang terjadi. Sedangkan Wiguna terus berdiam tak bergeming

“ Lancang!” kata Dwija dengan lantang

“ Anak kalian telah lancang pada putriku! “ ucap Dwija dengan gemetar

“ Tantri hamil anak Wiguna!” Dwija tak kuasa menahan tangis dan marah. Ia kembali mengingat wajah Tantri

Lesig dan istrinya terperanjat. Melihat kebisuan Wiguna, mereka menyadari hal ini memang benar terjadi. Segera mereka bersimpuh dan mencium telapak kaki Dwija memohon ampun

“ Ratu, maafkan kelancangan putra tiang. Akan tiang pukul dan habisi dia” ujar Lesig dengan tangis

“ Nikahkan dia dengan Tantri”

“ Apa yang Ratu katakan? Kami tidak pantas” Lesig dan istrinya terperanjat terkejut

“ Lalu apa yang anakmu lakukan pantas?”

“ Biar Tantri menikah dengan Wiguna. Biar anak yang ada di perutnya juga mendapatkan tempatnya yang layak. Anak itu bukan keturunanku, bukan darah yang sama dariku. Aku tidak mungkin dan akan mau merawatnya, melihatnya saja pun tidak” ujar Dwija dengan ketus

“ Ratu, lalu Tugek bagaimana?”

Dwija terdiam.

    Persiapan pernikahan dilakukan secara diam-diam. Dayu Praba mau tidak mau mesti mengikhlaskan putri satu-satunya, tak banyak yang dapat ia lakukan, wajahnya nampak kuyu. Kini keanggunannya itu juga memudar, banyak masyarakat menjadikannya bahan pergunjingan “ Tu Aji, apa tidak bisa membiarkan Tantri tinggal di gria? Biar dia tinggal di kamar sudut, tapi jangan jauhkan dia dari tiang

“Sudah ku bilang, anak yang ada di perut Tantri bukan berasal dari keturunan kita. Sedikitpun ruang tidak ada”

Perdebatan antara Dayu Praba dan Dwija selalu berakhir dengan kata-kata ketus yang dilontarkan Dwija. Lantas bagaimana dengan Tantri?

Tantri tentu mendengar dan tau kabar pernikahannya akan segera terjadi. Sejak terakhir memohon maaf pada Dwija, sama sekali dia tak melihat bayang ayahnya lagi di depan kamarnya. Dayu Praba lebih menyedihkan lagi, dia selalu mengintip dari sela-sela jendela ketika Tantri sedang tertidur. Makanan Tantri selalu diantar oleh Ketut Weti, abdi setia yang selalu ngayah nyapu dan memasak di gria

“ Akan bagaimana ya nasib tiang kalau menikah Me?” kata Tantri kepada Ketut Weti

Ratu jegeg,  Me Weti tidak bisa berbuat banyak. Ini keputusan Tu Aji. Ratu harus kuat”

Tiang tidak ingin menikah. Tidak sama sekali. Kenapa tidak satupun Aji atau ibu ingin tau keinginan saya?”

Tiang takut sekali menikah Me, tiang tidak siap. Tidak sama sekali. Lalu kalau anak ini lahir saya akan bagaimana? Jadi seorang ibu saya juga belum mampu” ucap Tantri dengan tatapan kosong.

        Weti terdiam. Dia tau betul, Dayu Tantri menaruh impian besar pada pendidikannya. Maka ketika tau Tantri hamil, Weti menyembunyikan ini selama beberapa hari dari Dwija dan Dayu Praba. Hatinya turut hancur, apalagi melihat keputusan besar yang diambil Dwija untuk menikahkan Tantri

Tiang takut sekali Dayu Tantri akan seperti titiang. Menikah di usia muda, lalu sama sekali tidak pernah bahagia, karena tidak siap dan bukan pilihan Dayu” ucap Weti lirih meyakinkan Dayu Praba

Praba hanya meliriknya lalu pergi dengan tatapan kosong.

Persiapan berlalu dengan cepat dan terburu-buru. Mengejar hari baik dengan segera. Dwija sudah tak sanggup melihat Tantri lebih lama tinggal dengan perut yang semakin membesar.

“Ratu, maafkan tiang yang lancang. Namun pernikahan ini tidak akan pernah jadi baik untuk siapapun, terutama Dayu Tantri”

“Tau apa kau Tut? Lalu kau pikir aku akan membiarkan Tantri terus tinggal di sini, dengan anak yang aku sendiri tidak akan memiliki hubungan darah dengan anak itu. Mau dibawa kemana harga diriku?”

“ Ratu…”

“Seluruh desa bahkan sudah mendengar kabar ini. Apa yang aku harus lakukan? Menyembunyikan putriku? Lalu merawat anak yang dikandungannya? Desa ini tidak mengenal adat seperti itu”

“ Tapi Ratu” jawab Weti lirih

“ Mereka semua menghormatiku. Melihatku sebagai junjungan mereka. Kini apa yang aku lakukan adalah untuk melindungi semua itu”

Weti tak bergeming lagi. Tuannya terlalu keras kepala. Harga dirinya tinggi, adat dan kasta telah mengaburkaan rasionalitas dan moralnya sebagai seorang ayah.

Hingga, tiba dua hari sebelum pernikahan Tantri dilakukan. Tantri semakin kalut tak karuan, makanananya tak bisa tertelan, ketakutan besar dalam hidupnya terjadi. Tantri belum sanggup menerima konsekuensi dari apa yang dilakukannya, melihat perutnya terus membesar, kesendiriannya, memikirkan ayah dan ibunya, di dalam kamar besar itu rasanya menyakitkan. Tanpa pelukan siapapun, gadis itu bahkan lupa kapan dia terakhir dapat memejamkan mata. Hanya Ketut Weti, perempuan paruh baya itu yang setia berdatang memeluk Tantri sembari membawa makanan.

Me, hari ini menginap di kamar tiang ya. Tiang takut sekali sendiri. Setiap memejamkan mata mungkin rasanya sulit. Tapi tiang sangat lelah, tidak ada yang bisa tiang lakukan. Aji dan ibu tak ingin memeluk saya lagi. Tiang tidak sanggup, tidak. Tiang tidak sanggup menghadapi anak di dalam perut ini dan kehidupan pernikahan. Tidak Me

“ Ratu, keputusan Tu Aji telah bulat. Tidak ada yang bisa dilakukan, Ratu harus menerimanya. Kuat. Me Weti akan selalu mendoakan Ratu”

Air mata menetes di pipi Tantri. Dia merebahkan kepalanya di pangkuan Weti.

“ Me Weti, ceritakan tiang sebuah cerita yang menyeramkan, apapun. Agar tiang berani menutup mata”

Lalu Weti mulai mencari-cari, dan menceritakan tentang seorang anak yang hilang ketika bermain pada waktu Sandikala. Ya begitulah , malam berlalu, Tantri lelap dalam dongeng yang diceritakan Weti. Keesokan harinya, di tengah persiapan upacara yang walaupun kecil juga harus dipersiapkan. Dwija tengah berbincang dengan Dayu Praba

“ Tut, panggil Tantri kemari. Sudah hampir seminggu sejak dia di kamar. Perasaanku belum juga baik, tapi aku harus menemuinya”

Nggih, Ratu” ucap Weti patuh

Weti melihat sekeliling, setiap sudut kamar dan kamar mandi. Dia tak melihat keberadaan Dayu Tantri. Weti mulai takut dan gelisah. Membayangkan akan seperti apa murkanya Dwija kepada Tantri, padahal baru saja dia bernafass lega ketika melihat air muka Dwija jauh lebih baik

“ Oh Bathara!, kemana Tugek Tantri pergi”

Lama berdiam dan menimbang, Weti memberanikan diri untuk menghadap Dwija dan Dayu Praba. “ Ratu, Dayu Tantri tidak ada di kamar”

Semuanya terperanjat. Dwija menunjukkan air muka menegang, Praba mulai lunglai dan menangis. Hari itu semua abdi gria dikerahkan Dwija untuk mencari Tantri. Wiguna pun juga tak tau kemana pergi kekasihnya itu. Weti mulai mengingat-ngingat apakah Tantri pernah bercerita sesuatu sebelum pergi, ah tak ada yang bisa diingat dari otak tua yang sudah lemah memori itu! Pencarian belum berakhir sebab Tantri belum ditemukan. Hingga waktu menunjukkan sandikala. Salah satu abdi gria berlari menaiki anak tangga gria yang tinggi itu dengan terengah-engah

“ Ratu! Dayu Tantri ditemukan!”

“ Dimana?” ucap Dwija tegang

Weti mengupingnya diam-diam

“ Dayu Tantri hanyut” jawab parekan itu pasrah

Dwija lunglai dan jatuh ke tanah, Dayu Praba terus menangisi putrinya

Weti terdiam. Dia mengingat cerita sandikala kemarin. Tantri, hanyut dan ditemukan sandikala tadi. Gadis malang itu telah tenggelam, dengan sengaja. Menenggelamkan diri, ketakutan, kesendirian dan impiannya. Sejak sandikala itu, Tantri, tak pernah kembali lagi.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Sekar Sandat : Potret Wanita Bali dalam Hegemoni Patriarki

Membeli Nama Sebagai Seorang Mahasiswa