Postingan

Membeli Nama Sebagai Seorang Mahasiswa

Menjadi mahasiswa, katanya merupakan sebuah kemewahan.   Boleh jadi, tak semua orang berkesempatan.  Menjadi mahasiswa memang seperti mencicipi kuasa Bisa mewakili suara mereka yang nelangsa.  Tiap hari membuat diskusi di kedai kopi, Katanya, untuk " Hidup Rakyat Indonesia" Katanya lagi untuk semangat  " Merdeka" Semoga ya Tuan dan Puan,  Memang begitu adanya, yang terpatri di diri, di hati.  Tak sekadar basa-basi  Yang tercampur minuman fermentasi. 

SANDIKALA

  Jangan bermain di waktu Sandikala, nanti disembunyikan “memedi”,   begitu kata orang tua dulu ketika menasehati anaknya agar tidak bermain sampai larut. Ya, betul. Dayu Tantri, gadis itu juga hilang ketika sandikala. Kehidupan gria memang penuh dengan aturan dan tata krama. Bagaimana tata kata, berperilaku, bersikap, berpakaian telah diatur sedemikian rupa, apik dan terlihat bertuah di mata masyarakat. Tantri, lahir sebagai perempuan keturunan brahmana yang begitu keras dalam menjaga pakem gria, membuat sosoknya sebagai perempuan remaja yang terlihat lebih matang dari teman-teman seusianya. Ayahnya, Ida Bagus Dwija merupakan tokoh yang begitu dihormati masyarakat. Ibunya, Dayu Praba adalah seorang pembuat banten yang keanggunannya begitu dipuja masyarakat. Bisa dibayangkan, paras nan kecerdasan Tantri tidak diragukan lagi.   Sebagai putri tunggal, Ida Bagus Dwija menaruh harapan besar pada Tantri. Harapan besar itu pula yang akhirnya menyulut amarah dan luka ketika ...

'Ning'

  “ Ning, dia telah tiada” “ Siapa ?!” “ Dia “ ucap Meme lirih Bunyi gong terdengar semakin semarak,   di balik kerai nampak seorang perempuan muda tengah bersiap. Panggung ini bukan panggung baru lagi bagi Ning, berbagai pelosok desa telah ia kunjungi tuk memuja semesta, katanya. Ning mulai menampakkan diri, di depan sebagai seorang penari. Riuh rendah mewarnai acara tersebut, apalagi ketika menyambut lemah gemulai Ning menari. Semua pemuda saling mendorong kawannya untuk menari bersama Ning di tengah panggung, Ning semakin gemulai menari dan terhanyut ke dalam alunan nada, Ning tertawa bahagia begitu menikmati lakonnya sebagai seorang pemuja semesta. “ Mau tiang antar pulang?” kata seorang pemuda dengan sigap mengambil motornya untuk mengatar Ning “ Ah, Bli Suwana!, tiang pikir siapa!” jawab Ning dengan sumringah lalu naik ke atas motor Ah, Ning dan Suwana, tak ada bedanya dengan pemuda yang sedang mabuk asmara. Keduanya dikatakan pasangan nyaris sempurna, ...

Apa ya?

 Halo,  Rasanya lama sekali tak menyapa. Bahkan untuk mulai mengetik dua kalimat di atas saya perlu berpikir lama. Ah, artinya sudah lama sekali saya tak mengisi diri ketika membiasakan diri untuk tidak menulis lagi.  Tulisan ini bahkan mungkin juga memang, tidak ingin menyampaikan apapun. Selain hanya untuk menyapa. Menyapa kalian ataupun menyapa diri sendiri.  Semacam, apa kabar? 

I Telaga Putung

  “Putu Ayu, keponakan tiang . Dia yang akan melahirkan anak laki-laki untuk penerus keturunan Bli ” Begitu mantap,lugas dan yakin, Telaga akan menikahkan suaminya. Ketut Sirna akan menikah lagi dengan keponakan Luh Telaga sendiri, Putu Ayu. Hidup layak sebagai pegawai negeri dengan seorang istri dan dua anak perempuan ternyata tak membuat keluarga itu tenang. Tiap malam Luh Telaga tak bisa memejamkan mata, memicingkan mata saja sudah dihantui banyak bayangan buruk. “Siapa kelak yang akan meneruskan keturunan Bli Tut ?” Pikir Luh Telaga “Begitu malangnya aku sebagai perempuan tak melahirkan anak lelaki. Begitu berdosanya aku kepada leluhur karena telah membuat keturunan mereka putung”   Tiap hari kutukan itu dia muntahkan untuk dirinya sendiri. Sadarkah perempuan itu? Keluarga Ketut Sirna begitu tak beruntung, keturunannya putung. Sepertinya keluarga Ketut Sirna memang dikutuk. Kedua kakak lelakinya mati salah pati , yang satu mati hanyut saat   memancing di panta...

I Sekar Sandat : Potret Wanita Bali dalam Hegemoni Patriarki

    Beberapa bulan setelah pernikahan Luh Sekar dengan lelaki bangsawan, adik kandungnya, Sandat menikah juga dengan seorang lelaki kaya raya.   Luh Sekar hidup dengan menyandang status baru sebagai seorang “jro”   di puri yang bertuah itu . Sedangkan Sandat hidup bergelimang harta di rumah Bali “ meprada” yang megah . Kehidupan masa “ bajang” Luh Sekar dan Sandat diwarnai dengan jejalan aktivitas penanaman nilai adat dan “adab” sebagai kodrat kedua manusia itu lahir menjadi perempuan. Ibu mereka , Ketut Wangi begitu ketat dalam menanamkan doktrin-doktrin sesuluh menjadi seorang wanita yang tau adab dan adat . Ketut Wangi tak ingin membuat kecewa lagi seluruh dunia dengan tidak melahirkan anak lelaki , setidaknya kedua anak gadisnya berhasil menjadi wanita Bali yang sesungguhnya dan kelak bisa menikah dengan keluarga yang terhormat . “Lihatlah kedua putri kita Bli , mereka cantik , cekatan . Tidak ada kekurangan dalam diri mereka. Kelak mereka akan membangga...
 Terkhusus hari ini memperingati Hari Kartini , maka  tulisan ini adalah sebuah perayaan bagi kebebasan   untuk kita semua , utamanya perempuan ,karena  kita adalah jiwa-jiwa muda bahagia sebab pikiran kita merdeka.    Di laut sana , Kan kau temukan birunya laut tanpa tepi , Di atas sana , Kan kau temukan birunya langit tanpa batas , Nan jauh di Barat sana , Kan kau temukan ilmu tanpa kenal kuantitas , Dan di dalam dirimu sendiri , Kan kau temukan jiwa yang bahagia , Karena pikiranmu yang merdeka.