'Ning'

 

“ Ning, dia telah tiada”

“ Siapa ?!”

“ Dia “ ucap Meme lirih

Bunyi gong terdengar semakin semarak,  di balik kerai nampak seorang perempuan muda tengah bersiap. Panggung ini bukan panggung baru lagi bagi Ning, berbagai pelosok desa telah ia kunjungi tuk memuja semesta, katanya. Ning mulai menampakkan diri, di depan sebagai seorang penari. Riuh rendah mewarnai acara tersebut, apalagi ketika menyambut lemah gemulai Ning menari. Semua pemuda saling mendorong kawannya untuk menari bersama Ning di tengah panggung, Ning semakin gemulai menari dan terhanyut ke dalam alunan nada, Ning tertawa bahagia begitu menikmati lakonnya sebagai seorang pemuja semesta.

“ Mau tiang antar pulang?” kata seorang pemuda dengan sigap mengambil motornya untuk mengatar Ning

“ Ah, Bli Suwana!, tiang pikir siapa!” jawab Ning dengan sumringah lalu naik ke atas motor

Ah, Ning dan Suwana, tak ada bedanya dengan pemuda yang sedang mabuk asmara. Keduanya dikatakan pasangan nyaris sempurna,  yang perempuan kembang desa, sedangkan yang lelaki  selalu berseragam rapi tiap pagi karena bekerja di Kantor Desa . Tidak butuh waktu lama saling mengenal, sebab Ning dan Suwana sama-sama menunjukkan ketertarikan satu sama lainnya. Orangtua pun tak bermasalah, sehingga keputusan menikah diambil dengan mudah.

Namun pernikahan tentu bukan perkara mudah. Sebulan menjalaninya mereka nampak bahagia, di bulan selanjutnya mulai muncul konflik merwarnai perjalanannya. Suwana mulai tak setuju kalau Ning menari lagi, “ Aku tak suka Luh dilirik laki-laki lain “

Ning tersenyum, memahami bahwa lelakinya itu sangat menyayanginya. Namun lakonnya sebagai seorang penari memang tak bisa memadamkan api dalam dirinya. Sehingga setelah mendapat tawaran lagi, Ning ingin menari kembali

“ Kan aku sudah bilang tidak ya tidak!. Lagipula Meme sudah ingin punya cucu, kau seharusnya mengerti!”

Bli, tolonglah mengerti. Sudah 6 bulan setelah kita menikah, tiang tidak menari lagi”

“ Setelah menikah tanggung jawabmu yang utama adalah mengurusku dan Meme!, bukan menari, melenggak lenggok di sana , membiarkan tubuhmu diliat laki-laki lain!”

Bli!” seru Ning dengan marah

Seperti biasa, Suwana selalu pergi setelah melontarkan pernyataan yang tak pantas pada istrinya. Ning terdiam, dia selalu mempertanyakan dirinya sendiri , kenapa dia menjadi tidak berharga atas tubuhnya sendiri di mata suaminya . Padahal jika ia menari, gejolak bangga akan tubuhnya sepenuhnya bisa dia apresiasi melalui alunan nada.

Bli memang tidak mau mengerti”

“ Kau yang tidak mau mengerti, sudah 6 bulan menikah tidak juga kau hamil!” seru mertua Ning dengan melirik tajam sambil memakan sirih

Ning tak melawan, seolah perkataanya akan menjadi sia-sia. Dan juga benar, memang dia belum mengandung.

“ Mungkin karena aku belum menginginkan seorang anak, jadi Bethara juga tak merestuinya”

“ Kenapa kau bicara begitu Ning?, kenapa kau tak menginginkan anak ?” ucap Sriati, ibunya Ning

“ Tiang belum siap Me. Belum sama sekali”

“ Kau harus siap Ning, kau sudah menikah”

Ning terdiam, dia belum menginginkannya, tapi orang-orang di sekitarnya begitu mengharapkannya. Keinginan siapa yang harus Ning penuhi? Memikirkan kesiapannya sendiri atau memenuhi hasrat pewaris  keluarga suaminya? 

Hari berlalu dan Ning juga belum mengandung. Mertuanya, Srimpen, terus mendesak Ning agar segera mengandung “Kalau sampai setahun kedepan belum juga, biar lah Suwana anakku menikah lagi! Aku pikir kau perempuan subur. Badanmu terlihat sehat, wajahmu cerah bercahaya, tapi sayang tak lebih dari  seorang perempuan yang putung!”

Me! Kata-kata Meme menyakiti saya!, Saya tidak hamil juga bukan salah saya juga!”

    Adu mulut antara menantu dan mertua itu terjadi lagi. Ning memutuskan untuk belajar membela dirinya sendiri. Sebab suaminya juga tak pernah mendukungnya.

“Setiap hari kerjamu memang bertengkar dengan Meme saja, coba dengarkan Meme sekali tanpa membantah” keluh Suwana dengan ketus sesampainya di rumah malam hari

Bli kemana ? kan pertanyaan tiang itu tadi , kenapa dialihkan?”

“ Tidak ada urusannya denganmu Luh

“ Tapi Bli selalu menuntut saya diam di rumah, lalu Bli bisa terbang sebebas yang Bli mau”

“ Kau gila”

“ Kenapa?”

“Semua orang kau ajak berdebat”

Setelah pembicaraan panjang itu Ning mulai tak mau mendengar lagi, dia mulai terang-terangan mengambil pekerjaan menari lagi. Suwana yang tahu, tak terima lagi.

“ Harus berapa kali diberitahu, tidak menari ya tidak menari! Kenapa masih juga begini?” ucap Suwana jengkel

“ Biar tiang lakukan apa yang menurut tiang benar. Bli juga selalu pergi pagi pulang malam. Saya tanya tidak mau menjawab habis darimana”

“ Aku bertemu Ratih”

“ Ya tiang tahu. Meme yang mengenalkan kan? Meme mu itu tidak berperasaan ya”

“ Jaga ucapanmu”

“ Lalu Bli apa bisa menjaga sikap Bli dan perasaan tiang?”

Suwana tak menjawab lagi.

Keesokan harinya kelakuan Suwana masih saja begitu, pergi pagi dan pulang malam. Seolah ia tak memiliki tanggung jawab apapun di rumahnya. “Biar dia semakin dekat dengan Ratih,  dalam waktu dekat juga Meme akan mengunjungi Peranda untuk  meminta dewasa ayu” celetuk Srimpen sembari membuat banten

Meme sedikitpun tidak menghargai perasaan saya sebagai perempuan”

“ Aku tidak memikirkan perasaan perempuan pemberontak dan putung sepertimu”

Meme!” pekik Ning

Di tengah teriakan Ning, Suwana yang mendengarnya begitu marah. “Sudah ku bilang jaga ucapanmu pada Meme, Ning!

“ Bahkan kau dan Meme tak pernah menghargai perasaanku. Haruskah aku tidak membela diriku sendiri? di saat suamiku bahkan akan menikah lagi dengan perempuan lain, tidak tahu malu!”

“ Ning! Kau sendiri yang membuatku merasa begini. Kau suka memberontak, lalu menari lagi tanpa seizinku! Kau membiarkan lelaki lain menikmati tubuhmu!

Bli! “ pekik Ning

 “ Kau tak ada bedanya dengan pelacur !” ujar Suwana kasar

“Aku menari, karena ini caraku memuja semesta. Menghargai otoritas atas tubuhku sendiri, dan menyadari bahwasannya aku berharga”. Mata Ning mulai memerah, dia terus mengeluarkan kata-kata yang selama ini dia ingin keluarkan

“ Katamu aku pelacur kan? Iya kan? Biar kutunjukkan di hadapanmu bahwa kau telah salah menilaiku , Bli!, Biar kau nilai hargaku sekarang di matamu!”

    Ning mulai menari, gemulai dalam alunan nada yang dia ciptakan sendiri.  Matanya tajam melirik ke kanan dan kiri, bibirnya tersungging seolah tadi tak ada pertengkaran. Suwana membeku, dia mengingat kembali perempuan yang dicintainya berdiri dan sedang menari di hadapannya, perempuan yang membuatnya jatuh hati karena paras dan gemulai tariannya,  tapi wajah perempuan itu tak sama lagi, telah layu.  Dia mencintai perempuan itu, tapi tidak lagi bisa jatuh kembali. Suwana muak, dengan Ning yang selalu membantahnya. Ning terus menari , seperti tak sadarkan diri, terus dan terus tanpa henti. Sedangkan Suwana semakin tenggelam dalam alam pikirnya sendiri. Sampai terdengar teriakan dari Srimpen di kejauhan

“ Ning ! Sadar!” Srimpen berteriak kencang

“ Kau telah mendorongnya! Anakku Suwana!“ Srimpen gemetar 

“ Siapa?” Ning tersadar

“ Suwana, anakku! Ratu Bethara! Anakku Suwana jatuh ke sumur! ” Srimpen histeris

“ kapan?” tanya Ning dengan wajah datar

“ Tadi! “

“ tidak mungkin “

“ mungkin, aku melihatnya!”

“Kapan?”

“ketika kau menari, kau melakukannya! Oh Bethara!”

Ning.

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SANDIKALA

I Sekar Sandat : Potret Wanita Bali dalam Hegemoni Patriarki

Membeli Nama Sebagai Seorang Mahasiswa