I Telaga Putung
“Putu Ayu, keponakan tiang. Dia yang akan melahirkan anak
laki-laki untuk penerus keturunan Bli”
Begitu mantap,lugas dan yakin, Telaga akan menikahkan suaminya. Ketut Sirna
akan menikah lagi dengan keponakan Luh Telaga sendiri, Putu Ayu.
Hidup layak sebagai
pegawai negeri dengan seorang istri dan dua anak perempuan ternyata tak membuat
keluarga itu tenang. Tiap malam Luh Telaga tak bisa memejamkan mata,
memicingkan mata saja sudah dihantui banyak bayangan buruk.
“Siapa kelak yang akan
meneruskan keturunan Bli Tut?” Pikir
Luh Telaga
“Begitu malangnya aku
sebagai perempuan tak melahirkan anak lelaki. Begitu berdosanya aku kepada
leluhur karena telah membuat keturunan mereka putung” Tiap hari kutukan itu dia muntahkan untuk
dirinya sendiri. Sadarkah perempuan itu?
Keluarga Ketut Sirna
begitu tak beruntung, keturunannya putung. Sepertinya keluarga Ketut Sirna memang
dikutuk. Kedua kakak lelakinya mati salah pati, yang satu mati hanyut saat memancing di pantai, salah satunya lagi jadi
korban tabrak lari. Luh Telaga begitu takut kepada siapa kelak warisan leluhur
Ketut Sirna kan diteruskan. Suaminya itu tak becus, hidup saja adalah anugerah
bagi orang tuanya dulu. Makannya, orang tua Ketut Sirna ‘nombok’ untuk menjadikan anaknya PNS. Pesan sebelum kematian ibu
Ketut Sirna begitu memekik di telinga Luh Telaga hingga kini. “jangan sampai
keturunan saya putung” Berdosalah perempuan itu kalau sampai benar tak
melahirkan pewaris. Kedua anak perempuannya begitu muak melihat ibunya yang
mabuk adat, dipaksa kawin nyentana
juga tak mau. “Putu tidak akan menikah” itu kata anak yang pertama, yang kedua
mengatakan “Biarlah Dek bahagia dengan pilihan Dek sendiri, Me. Lagipula tidak mungkin Gus Tu nyenata kemari”
Lelaki itu, Ketut Sirna
seolah tak peduli, apatis. Dia biarkan istrinya mengambil semua urusan adat
hingga domestik rumah tangga. Sirna tak peduli, yang dia tau tugasnya hanya ke
kantor lurah untuk absen lalu membelok ke acara tajen, indah nian. Pulang larut malam, tak sadar, penuh alkohol dan
cacian karena kalah mebotoh.
“Tiang mau menikahkan
Bli lagi” Ucap Luh Telaga dengan tegas dan mantap, untuk pertama kalinya dia
memaksa suaminya duduk serius, terakhir mungkin ketika mengurus upacara ngaben mertuanya.
“Terserah Luh, atur saja”
jawab Ketut Sirna tanpa ekspresi sambil mengepulkan rokok di mulutnya itu.
Luh Telaga hanya
tersenyum simpul, dia tau suaminya tak mau ambil repot. Dalam hatinya terbesit
bahagia karena suaminya tak menolak untuk menikah lagi tapi tak dipungkiri juga
kecewa karena tak ada sedikit pun penolakan. Benarkah yang dinikahinya ini
manusia? Benarkah mereka pernah saling cinta? Bedebah, tak peduli. Dia harus
segera menikahkan suaminya sebelum laki-laki itu mati juga karena salah pati. Bagi Luh Telaga menikah
dengan Ketut Sirna bukan hanya mengikat hubungan seumur hidup pada laki-laki
itu tapi juga mengemban tanggung jawab seumur hidup untuk sekala dan niskala di
rumah suaminya. Terpenting, bukanlah besar cinta mereka tapi seberapa besar
pengabdian dan pengorbanannya untuk “ngayah”
di rumah Sirna. Dia percaya mungkin ada karma masa lalu terhadap keluarga
suaminya yang harus dia lunasi di kehidupan sekarang.
Lama menimang-nimang akhirnya
Luh Telaga memutuskan. Putu Ayu, perempuan lajang, keponakannya sendiri untuk
menikah dengan Ketut Sirna. Luh Telaga tidak bodoh, dia pandai bersiasat,
berpolitik dan berfilsafat. Biaya pendidikan yang dia berikan selama ini pada
perempuan yatim piatu hingga sarjana dia tagih kembali. “Menikahlah dengan Pak Tut, dengan suamiku. Bantu aku
melunasi karma hidupku. Jangan biarkan Mek
Luh mu ini menanggung dosa besar. Kamu keponakanku sendiri, ada darahku di
tubuhmu. Maka tak apa, anakmu juga akan berasal dari keturunanku” Perempuan lugu
itu terlalu bodoh untuk menolak. Hutangnya teramat besar, dia tak mau
melewatkan kesempatan membayar hutang untuk Mek
Luh-nya. “Apapun itu, kalau memang itu yang bisa saya perbuat untuk Mek Luh, maka saya akan menikah”
Tenang, hati Luh Telaga
akhirnya bisa damai. Dia segera mengunjungi Peranda
untuk meminta hari baik ‘dewasa’ untuk
pernikahan kedua suaminya. Pernikahan kedua itu terjadi, butuh waktu beberapa
lama untuk Ketut Sirna menerima Putu Ayu. Sedangkan Luh Telaga kian hari
semakin berambisi dengan tujuannya, segala tempat dikunjunginya ‘nunas’ agar segera Putu Ayu mengandung
anak laki-laki. Akhirnya, Putu Ayu mengandung. Luar biasa bahagianya Telaga,
segera dia ‘nawur sesangi’ untuk
kehamilan Putu Ayu. Telaten Luh Telaga membawa Putu Ayu ke dokter, memastikan
kandungannya sehat. “Laki-laki” bahagia sekali Telaga ketika tau hasil USG,
kalau anak yang dikandung Putu Ayu laki-laki. Semakin berhati-hati dia merawat
kandungan itu, semakin masa bodoh juga Ketut Sirna dengan kehamilan Putu Ayu.
Bagi Sirna, tak ada bedanya dia akan memiliki keturunan lelaki atau tidak, dia
hidup hanya untuk dirinya sendiri. Menikmati duniawi dan kekayaan warisan orang
tuanya, itu saja, cukup. Sedangkan Putu Ayu, dia begitu lugu untuk marah pada
suaminya yang tua itu atau untuk sadar Mek
Luh-nya sendiri sedang merusak masa depannya.
Tak lama, yang
ditakutkan Luh Telaga terjadi. Ketut Sirna mati, liver. Setelah dirawat beberapa hari akhirnya lelaki tak berguna
itu mati. Hati Telaga hampa, tak berduka juga bahagia. Lelaki yang tak berguna,
apatis, kasar itu, telah tiada. Lelaki yang dulu meminangnya karena dijodohkan,
lelaki yang hidup 25 tahun bersamanya tapi tak pernah sedikit pun menunjukkan
cinta. Haruskah Telaga bersedih? Tapi celakalah kalau dia juga bahagia. Setidaknya
Luh Telaga lega, Putu Ayu sudah mengandung dan dipastikan bayinya laki-laki.
Kelahiran yang ditunggu
Luh Telaga akhirnya datang, Putu Ayu melahirkan.
Luh Telaga terkejut,
tangannya gemetar, tak sanggup dia berdiri
Telaga terdiam
Neraka telah didapatnya.
Suaminya telah mati dan leluhur telah mengutuknya karena tak becus menjalankan
tanggung jawab.
“ Oh, Bathara! Dosa apa
aku! Bagaimana bisa perempuan? Kenapa perempuan? Apakah Leluhur telah
mengutukku kini?”
Hening.
Duhhhh, yg diharapkan tdak sesuai takdir-Nya
BalasHapus